Profil Mika Panjaitan


Pilihannya adalah dunia pendidikan, totalitas yang ia usung sejak jadi guru bimbingan belajar (bimbel) ketika masih mahasiswa di Medan, kemudian pindah ke Jakarta, hingga mendirikan Lembaga Bimbingan dan Konsultasi Belajar Quantum Institute (QUIN) pada tahun 2000.

Terobosan Quantum Method-nya, yaitu Revolusi Belajar yang mengajarkan keterampilan belajar dengan mengandalkan aspek kognitif modern mengenai otak dan kecerdasan. Partner ribuan siswa SMA di Tanah Air memasuki PTN terkemuka.

Tak berhenti di situ, Mika penulis buku “Menjadi Guru Luar Biasa” juga melebarkan sayap kepeduliannya melalui pelatihan siswa dan guru berbasis IT lewat Cloud Computing.

Lebih dari separuh usia Mika diabdikan untuk dunia pendidikan. Dengan terjun ke dunia politik, bagi Mika adalah bagian dari impian besarnya memajukan pendidikan bagi anak-anak bangsa. Untuk pemilu legislatif nanti, ia menjadi calon Anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDI-P untuk Dapil VII Jakarta Selatan, meliputi Kecamatan Cilandak, Kebayoran Baru, Kebayoran Lama, Pesanggrahan, dan Setia Budi.

 Selain pendidikan, berbagai masalah Jakarta yang kompleks juga tak lepas dari perhatian Mika, antara lain masalah sosial, kependudukan, dan infrastruktur. “Saya yakin, dengan duet kepemimpinan Jokowi-Ahok yang agresif dan kreatif, adanya sinergi antara eksekutif dengan legislatif dapat mewujudkan Jakarta baru sebagai kota bertaraf internasional”, tambahnya.

  Pengagum Gandhi dan Bung Karno ini oleh rekan-rekannya dipandang sebagai sosok yang matang dalam perencanaan. “Keinginan berpolitik muncul dalam diri saya sejak masih mahasiswa, sekarang adalah momen yang tepat, dalam usia yang secara mental saya sudah siap”, tegas pria kelahiran Pematangsiantar, 2 Januari 1967.

   PDI Perjuangan adalah pilihan Mika untuk beraktualitas di panggung politik karena platform partai yang nasionalis, berdaulat di bidang politik, ekonomi, berkepribadian dalam kebudayaan, serta menghendaki kemakmuran, keadilan, dan demokrasi sesungguhnya. Di PDIP DKI Jakarta, Mika dipercaya sebagai Ketua Bidang Pelajar dari Departemen Pemuda Olah Raga, sesuai dengan latar belakang profesinya lebih dari 25 tahun sebagai pengajar, serta totalitas dan komitmennya yang kuat dalam memajukan dunia pendidikan.

oleh: Antoni Antra Pardosi

Mengembalikan Kehormatan Guru


Tak pernah ada dalam sejarah bangsa ini profesi guru begitu terpuruk di mata masyarakat seperti saat ini. Seringnya guru mogok mengajar karena berdemonstrasi, citra guru yang rusak karena tuntutan ujian nasional, dan kebijakan pendidikan yang abai terhadap pengembangan profesional guru hanya beberapa kenyataan yang menunjukkan betapa kehormatan guru telah hilang. 
Mengembalikan kehormatan guru tak lagi bisa ditawar untuk menyelamatkan masa depan negeri ini. Tugas itu tak ringan dan memerlukan kerja sama banyak pihak sesuai cakupan tanggung jawab mereka. Hanya dengan pendekatan utuh dan sinergilah, kita dapat mengembalikan kehormatan guru.

Tiga sisi
Persoalan guru bisa diurai dengan melihatnya dari tiga sudut pandang: guru, negara, dan masyarakat. Pertama, persoalan yang penting direfleksikan oleh guru adalah bagaimana mereka tetap memiliki inspirasi pribadi yang memberi landasan nilai, makna bagi perkembangan dirinya sebagai guru. Inspirasi adalah sumber kekuatan, berupa nilai, prinsip pendidikan, dan tujuan hidup yang diyakini sebagai dasar bagi pengembangan panggilan pribadinya sebagai guru.

Memiliki inspirasi yang kuat sebagai guru berarti bahwa di tengah menumpuknya tugas rutin, guru tak pernah boleh kehilangan idealismenya sebagai pembelajar. Rutinitas dan keteraturan adalah ciri pendidikan formal. Persoalan seperti tugas administrasi, membuat silabus, satuan pelajaran adalah bagian dari kinerja guru. Oleh karena itu, beres secara administratif saja belum cukup. Lebih dari itu, mampu merefleksikan dasar terdalam panggilan sebagai guru bisa menjadi sumber rohani yang memungkinkan guru tetap menemukan makna di tengah tantangan dan kesulitan.

Memiliki inspirasi sangat penting sebab dengan itu, guru dapat mempertahankan kebebasan dan kemerdekaan sebagai pengajar. Kebebasan adalah dasar dari pengembangan bermutu setiap profesi. Jika inspirasi tak ada, guru bisa kering nilai dan tanpa makna menjalani panggilan sebagai guru. 
Bahkan, guru bisa terpuruk sekadar jadi tukang yang melakukan sesuatu karena disuruh atau diperintah orang lain, atau sekadar taat aturan.
Tentu guru tak bisa bertindak seenak sendiri tanpa aturan yang sesuai dengan prosedur. Negara, dalam hal ini pemerintah, telah memberi rambu hukum dan peraturan yang membatasi profesi guru. Mengembalikan kehormatan guru tak mungkin terjadi secara efektif dan sistematis tanpa campur tangan negara.

Ruang kebebasan guru
Oleh karena itu, persoalan kedua yang mendesak dibuat oleh pemerintah untuk mengembalikan kehormatan guru adalah diberikannya ruang bagi guru untuk melaksanakan kebebasan profesionalnya sebagai guru dan pendidik. Ruang ini selama ini telah direnggut oleh UN. 
Pendidikan yang merupakan komunikasi antara anak didik dan guru jadi sebuah komunikasi teknis dan instrumental karena tak ada lagi keautentikan suasana pembelajaran yang terenggut karena tuntutan UN. 

Kehormatan guru tak akan pulih dengan efektif jika polemik seputar kebijakan UN tidak diselesaikan.
Negara memang telah memberi peraturan dan rambu untuk menyeleksi siapa saja yang layak dan pantas mengajar di depan kelas melalui peraturan perundang-undangan, terutama lewat sertifikasi. Namun, perlindungan atas profesi guru—negeri dan swasta—belum terjadi secara sinergis. Melindungi profesi guru dari terabasan berbagai kepentingan di luar dunia pendidikan, yang sering kali mempolitisasi guru, adalah hal yang mendesak.
Hal ketiga yang bisa membantu guru menemukan kembali kehormatan adalah tanggung jawab masyarakat sebagai rekan kerja utama para guru di sekolah, terutama orangtua. Mau tak mau, harus diakui, sekolah kita banyak diintervensi oleh orangtua dan masyarakat yang arogan, yang menganggap sekolah mesin produksi untuk memintarkan anak. Bahkan, ada yang sekadar menganggap sekolah lembaga pemberi ijazah. Mental dagang itu ada di masyarakat kita, dan guru harus berhadapan dengan kultur yang tak kondusif ini.

Mental dagang seperti tak mau terlibat dengan pendidikan anak karena sudah bayar mahal sekolah serta mental korup yang ada dengan membeli nilai atau ijazah adalah hal yang merugikan anak dan melecehkan martabat guru.
Namun, tak jarang juga mental dagang itu ada dalam diri guru sendiri. Gejala jual beli soal dan jawaban ujian, lobi orangtua untuk memperoleh nilai baik untuk anaknya dengan cara ”membeli” guru pun, sering juga tak disadari guru sebagai bagian yang sesungguhnya merusak martabatnya sebagai guru. 
Masyarakat perlu sadar bahwa kehormatan guru bisa pulih jika masyarakat membantu menciptakan kondisi yang baik bagi pertumbuhan guru dan anak didik. Tanpa bantuan masyarakat, pendidikan di sekolah tak akan berkesinambungan.
Mengembalikan kehormatan guru adalah hal mendesak. Tindakan yang bisa dibuat mesti sinergis dan simultan, serentak bersama-sama tiga pihak yang berkepentingan dengan pulihnya kehormatan dan martabat guru itu sendiri: guru, masyarakat, dan negara. Hari Guru Nasional yang kita peringati kemarin merupakan momentum untuk menyadari kembali, kehormatan guru harus segera dipulihkan demi perbaikan pendidikan di negeri ini.

Doni KA